Kenapa Dinamai “Nahdlatul Ulama”, bukan “Nuhudlul Ulama”.
7 August 2015 § 1 Comment
Kata “nahdlatul” (nahdlah) dalam “Nahdlatul Ulama” adalah isim masdar dari kata “nahadla” yang berarti “qiyam” atau “rising” atau “bangkit”. Ada isim masdar lain dari kata “nahadla“, yaitu “nuhudl“.
Lalu, kenapa para ulama pendiri Nahdlatul Ulama memilih diksi “nahdla” (“nadlatul“) untuk nama organisasinya itu? Kenapa tidak memilih “nuhudl“? Kenapa “Nahdlatul Ulama”, bukan “Nuhudlul Ulama”?
Dalam ilmu sharaf, ada beberapa macam isim masdar, di antaranya adalah yang disebut dengan isim marrah. Secara sederhana, isim marrah artinya isim yang menunjukkan sebuah peristiwa terjadi hanya sekali. “Nahdlah” (nahdlatul) adalah contoh isim marrah itu. Jadi, secara harfiah, “nahdla” berarti “sekali bangkit”.
Maka, inilah kecerdasan bahasa para kiai pendiri Nahdlatul Ulama. Mereka menggunakan diksi “nadhlah” (bukan “nuhudl”) untuk Nahdlatul Ulama, dengan harapan organisasi-kemasyarakatan Islam itu sekali bangkit saja, lalu bertahan untuk selamanya. Bukan bangkit, lalu roboh.
Sekali bangkit saja, lalu bertahan selamanya. Ada kegaduhan di dalam, ada usaha penyusupan dari luar, ada usaha pemecahbelahan, ada fitnah sangat rendah … ada apa pun yang terjadi … semua itu hanyalah terpaan angin yang segera berlalu. Mungkin terpaan berbentuk badai dan membuat sedikit lunglai, namun takkan membuat roboh dan tercerai berai. Nahdlah. Sekali bangkit saja, lalu bertahan selamanya—selama Allah menghendaki.
Barangkali demikianlah harapan para ulama kita saat mendirikan NU, Nahdlatul Ulama. Sebagai sebuah harapan, mari kita aminkan.
Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya memperoleh mata pelajaran ke-NU-an, namun saya tidak mendapatkan asal-asul soal diksi “nahdla”. Saya mendapatkannya dari ceramah Gus Mus di cenel Youtube (sepertinya cenelnya sudah tidak ada).
*
Versi text-to-speech di YouTube:
termakasih infonya, sangat bermanfaat , Adriana
LikeLike